Monday, January 21, 2019

Benarkah Atlantis Terdapat di Indonesia?



Seorang ilmuwan yang bernama Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun yang lalu telah terjadi berbagai letusan yang bersal dari gunung berapi secara serentak, dan menimbulkan gempa, pencairan es, serta banjir. Peristiwa tersebut mengakibatkan sebagian besar dari permukaan bumi tenggelam. Bagian tersebutlah yang disebut dengan benua yang hilang atau dikenal dengan Atlantis.
Suatu penelitian mutakhir yang telah dilakukan oleh seseorang bernama Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis adalah suatu wilayah yang sekarang disebut dengan Indonesia. Setelah melakukan suatu penelitian yang menelan waktu selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, yaitu seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis yang dimaksud adalah Indonesia. Sistem terasisasi dari sawah yang khas dengan budaya Indonesia, menurutnya, ialah suatu bentuk yang diadopsi dari Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Bukan merupakan suatu kebetulan ketika Indonesia yaitu pada tahun 1958, atas gagasan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan tentang Deklarasi Djoeanda. Isinya yaitu menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan yang pedalamannya merupakan suatu kesatuan wilayah nusantara. Fakta tersebut kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk dari penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah dari negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya yang telah terlihat sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa yang lalu tersebut Atlantis merupakan suatu benua yang membentang luas dari bagian selatan Negara India, Negara Sri Lanka, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan terus ke arah timur dengan bagian Negara Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah tersebut yaitu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, yang terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori yang dicetuskan oleh Plato menerangkan bahwa sebenarnya Atlantis merupakan suatu benua yang hilang akibat dari letusan gunung berapi yang terjadi secara bersamaan meletus. Pada masa tersebut yaitu sebagian besar dari bagian dunia masih diliput oleh lapisan es (era Pleistocene). Peristiwa yang terjadi dengan meletusnya berpuluh-puluh dari gunung berapi yang terjadi secara bersamaan dimana sebagian besar terletak di wilayah Negara Indonesia (dulu) tersebut, maka tenggelamlah sebagian bagian dari benua dan diliput oleh air yang berasal dari es yang telah mencair. Di antaranya yaitu letusan dari gunung Meru di India bagian Selatan dan gunung  Semeru di Jawa Timur. Kemudian letusan gunung berapi yang terletak di Sumatera yang membentuk suatu danau. Danau tersebut kini disebut dengan Danau Toba dengan delingkapi suatu pulau ditengahnya, pulau tersebut disebut dengan Pulau Samosir, yang merupakan suatu puncak dari gunung yang meletus pada saat tersebut. Letusan yang paling dahsyat yang terjadi di kemudian hari yaitu adalah letusan dari gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian dari Sumatera dan Jawa dan serta bagian lain-lainnya kemudian membentuk suatu selat dataran Sunda.

Atlantis sendiri yaitu berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah dari Atlantis yang terdapat pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia di dalam bentuk suatu budaya, kekayaan alam, ilmu atau teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak dari Atlantis tersebut yaitu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, Plato sendiri bersikukuh menyatakan bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat tersebut kemudian ditentang oleh para ahli di kemudian hari yaitu seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos memiliki pendapat yang berbeda dengan Plato mengenai lokasi dari Atlantis. Ilmuwan yang berasal dari Brazil tersebut berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya suatu letusan berbagai gunung berapi tersebut, sehingga menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur yang berasal dari abu gunung berapi tersebut kemudian membebani samudera dan dasarnya, dan mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di bagian dasar samudera, terutama yaitu pada pantai benua. Tekanan tersebut mengakibatkan suatu gempa. Gempa tersebut diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus di kemudian secara beruntun dan menimbulkan suatu gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya dengan sebutan Heinrich Events.
Plato di dalam usahanya untuk mengemukakan pendapat yang mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak bahwa Plato telah melakukan dua kekhilafan, yang pertama yaitu mengenai bentuk atau posisi bumi yang dimana dia menyatakan bahwa bumi ini datar. Kedua, yaitu mengenai letak dari benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh seorang peneliti bernama Santos. Penelitian yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti bahwa tidak berhasil untuk menemukan bekas-bekas dari benua yang hilang tersebut. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang mengatakan, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Namun, terdapat beberapa keadaan masa kini yang terjadi antara Plato dan Santos sependapat. Yakni yang pertama adalah bahwa lokasi benua yang tenggelam tersebut adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Kedua yaitu jumlah atau panjangnya mata rantai dari gunung berapi yang terletak di Indonesia. Di antaranya adalah Gunung Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung tersebut telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga yaitu soal semburan dari lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur dengan air laut kemudian menjadi lumpur. Endapan dari lumpur di laut tersebut kemudian meresap ke dalam tanah di bagian daratan. Lumpur panas tersebut tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Suatu kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan dari jarak jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan bahwa kanalisasi tersebut bekas dari penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang telah lampau. Namun sebagai suatu wilayah yang rawan untuk terkena atau terjadi peristiwa bencana, sebagaimana yang telah dialami oleh Atlantis (benua yang hilang) tersebut, sudah selayaknya apabila masyarakat Indonesia berusaha untuk mengatasinya atau menghadapi bencana alam tersebut dengan sebaik mungkin.


No comments:

Post a Comment