Friday, February 1, 2019

Tongkat Komando Bung Karno



Bung Karno berkata bahwa Tongkat Komando-nya tidak memiliki daya kekuatan yang sakti, daya linuwih ”itu hanya sebuah kayu biasa yang saya gunakan sebagai bagian dari penampilan saya sebagai seorang pemimpin dari sebuah negara besar” kata Bung Karno pada penulis Biografi-nya, yaitu Cindy Adams pada suatu saat di Istana Bogor.
Bung Karno sendiri memiliki tiga tongkat komando yang bentuknya sama, satu tongkat yang ia bawa ke luar negeri, satu tongkat untuk berhadapan dengan para Jenderalnya dan satu tongkat waktu ketika ia akan berpidato. Namun kalau keadaan buru-buru dan harus pergi, yang sering ia bawa adalah tongkat yang sering ia gunakan sewaktu ia berpidato. Pernah suatu saat Presiden dari Kuba, Fidel Castro memegang tongkat milik Bung Karno dan bercanda “Apakah tongkat ini memiliki kesaktian seperti tongkat milik kepala suku Indian?” Bung Karno tertawa saja, saat itu Castro meminta sebuah peci hitam milik Bung Karno dan Bung Karno menggunakan pet hijau milik Castro. “Pet ini saya pakai waktu saya serang Havana dan saya jatuhkan Batista” kata Castro mengenai Pet hijaunya itu.

Apakah tongkat Bung Karno memiliki kesaktian? Seperti halnya dengan Keris. Diponegoro ‘Kyai Salak’ atau keris Aryo Penangsang ‘Kyai Setan Kober’ wallahu’alam . Tapi Bung Karno sakti, itu sudah jelas. Peristiwa yang paling menggemparkan bagi publik Bangsa Indonesia adalah dimana saat Bung Karno ditembak dari jarak yang dekat ketika melaksanakan sholat Idul Adha. Tembakan tersebut meleset dan ini yang jadi heboh, bagaimana bisa penembaknya merupakan seorang yang jago dalam berperang dan sangat terlatih, tetapi kenapa menembak hanya dari jarak 5 meter saja tidak kena. Radio-radio pada saat itu yaitu saat sidang pengadilan seorang penembak Bung Karno, terungkap saat Bung Karno membelah dirinya menjadi lima bagian. Penembak bingung ‘mana Bung Karno’ yang asli?
Kesaktian milik Bung Karno sebenarnya adalah ‘kesaktian’ tiban, ‘tiban’ adalah suatu istilah Jawa bahwa kesaktian tersebut tidak dipelajari. Waktu lahir Sukarno bernama Kusno, kemudian ia sakit keras dan lalu digantilah dengan nama Sukarno. Setelah sehat, datanglah kakek Sukarno, Hardjodikromo yang datang dari Tulungagung untuk berjumpa dengan Sukarno kecil pada saat itu, sang Kakek melihat ada sesuatu yang lain di dalam diri anak ini. Kakek Sukarno sendiri adalah seseorang yang sakti, ia bisa menjilati bara api pada sebuah besi yang sedang menyala. Rupanya di lidah milik Sukarno terdapat suatu kemampuan yang lebih yaitu mengobati orang, Kemudian Sukarno dicoba untuk mengobati bagian yang sakit dengan cara menjilat.
Kakek Sukarno, tau bahwa kesaktian tersebut, harus diubah asal cucunya jangan hanya jadi dukun, tapi menjadi seorang yang amat berguna untuk bangsanya. Hardjodikromo adalah seorang pelarian yang berasal dari Jawa Tengah yang menolak sistem tanam paksa Cultuurstelsel Van Den Bosch, ia pergi ke Tulungagung dan memulai suatu usaha sebagai saudagar batik. Leluhur Bung Karno dari pihak Bapaknya adalah Perwira Perang Diponegoro untuk wilayah bagian Solo. Nama leluhur Bung Karno itu Raden Mangundiwiryo yang pernah berperang melawan Belanda, Mangundiwiryo ini adalah orang kepercayaan dari Raden Mas Prawirodigdoyo yang merupakan salah seorang Panglima Diponegoro yang membangun benteng-benteng perlawanan antara Boyolali sampai Merbabu. Setelah selesainya Perang Diponegoro, Raden Mangundiwiryo diburu oleh para intel dari Belanda dan ia menyamar menang jadi rakyat biasa di sekitar Purwodadi, mungkin akar inilah yang membuat ikatan batin antara Jawa Tengah dan Bung Karno. Seperti yang diketahui bahwa Jawa Tengah adalah basis utama Sukarnois terbesar di Negara Indonesia.
Mangundiwiryo memiliki kesaktian yaitu berupa ‘Ucapannya yang bisa menjadi kenyataan’ istilahnya ‘idu geni’. Rupanya ini menurun pada Bung Karno. Melihat kemampuannya yaitu ‘idu geni’ Bung Karno, Kakeknya Hardjodikromo berpuasa siang malam agar cucunya bisa memiliki suatu kekuatan batin, pada suatu saat Hardjodikromo bermimpi rumahnya kedatangan seorang yang amat misterius, berpakaian bangsawan Keraton Mataram dan mengatakan dengan amat pelan ‘bahwa cucumu adalah seorang Raja bukan saja di Tanah Jawa, tapi di seluruh Nusantara’. Kelak Hardjodikromo mengira bahwa itu adalah perwujudan dari Ki Juru Martani, seorang bangsawan Mataram paling cerdas.
Sejak mimpi tersebut, kemampuan Bung Karno untuk menjilat dan menyembuhkan langsung hilang berganti dengan ‘kemampuan berbicara yang luar biasa hebat’.
Bung Karno sendiri menurut buku Giebbels, salah seorang Sejarawan asal Belanda sudah diramalkan akan terbunuh dengan benda-benda yang tajam, untuk itulah ia sangat takut dengan jarum suntik, Bung Karno sendiri agak paranoid terhadap benda-benda yang tajam, ketika penyakit ginjalnya sangat parah, ia sendiri menolak untuk berobat ke Swiss karena disana ia pasti akan dibedah dengan pisau tajam. Ia memilih obat-obatan herbal yang berasal dari Cina.
Kembali ke tongkat milik Bung Karno tadi, tongkat Bung Karno tersebut dibuat dari bahan kayu Pucang Kalak, Pohon Pucang itu banyak, tapi Pucang Kalak itu hanya terdapat di Ponorogo, pohon Pucang. Tongkat Komando milik Bung Karno sendiri dipakai sejak 1952, setelah peristiwa 17 Oktober 1952. Suatu malam Bung Karno didatangi oleh orang yang membawa sebalok kayu Pohon Pucang Kalak yang ia potong dengan tangannya, balok tersebut diserahkan kepada Bung Karno. ”Untuk menghadapi Para Jenderal” kata orang tersebut. Kemudian Bung Karno menyuruh salah seorang seniman yang berasal dari Yogyakarta untuk membuat kayu tersebut menjadi sebuah tongkat komando.
Sebagai tambahan dalam khasanah politik Negara Indonesia, ‘ageman’ atau pegangan tersebut merupakan persoalan yang biasa. Misalnya Jenderal Sumitro, tokoh utama di dalam rivalitas dengan Ali Moertopo pada peristiwa Malari tahun 1974, sebelum meletusnya Malari kedatangan seorang anak muda dengan pakaian yang dekil dan menyerahkan sebilah keris dan ia mengatakan kepada Ali Sumitro “Untuk menang Pak” kata anak muda tersebut.
Pak Harto sendiri punya ageman banyak yang mengatakan pusat kekuatan Pak Harto itu ada di Bu Tien Suharto, banyak orang yang bilang juga bahwa di ‘konde’ bu Tien. Tapi yang jelas Pak Harto adalah seseorang pertapa, seorang ahli kebatinan tingkat tinggi, ia senang tapa kungkum di tempuran (tempuran = pertemuan dua arus kali) di Jakarta ia sering sekali bertapa di dekat Ancol pada tengah malam, saat tarik ulur dengan Bung Karno antara tahun 1965-1967.

No comments:

Post a Comment